Berbagai prasangka buruk terhadap orang lain sering kali
bersemayam di hati kita. Sebagian besarnya, tuduhan itu tidak dibangun di atas
tanda atau bukti yang cukup. Sehingga yang terjadi adalah asal tuduh kepada
saudaranya.
Buruk sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa
Arabnya disebut su`u zhan mungkin biasa atau bahkan sering hinggap di hati
kita. Berbagai prasangka terlintas di pikiran kita, si A begini, si B begitu,
si C demikian, si D demikian dan demikian. Yang parahnya, terkadang persangkaan
kita tiada berdasar dan tidak beralasan. Memang semata-mata sifat kita suka
curiga dan penuh sangka kepada orang lain, lalu kita membiarkan zhan tersebut
bersemayam di dalam hati. Bahkan kita membicarakan serta menyampaikannya kepada
orang lain. Padahal su`u zhan kepada sesama kaum muslimin tanpa ada
alasan/bukti merupakan perkara yang terlarang. Demikian jelas ayatnya dalam
Al-Qur`anil Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا
مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ
إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian
kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari
persangkaan itu merupakan dosa.” (Al-Hujurat: 12)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan
untuk menjauhi kebanyakan dari prasangka dan tidak mengatakan agar kita
menjauhi semua prasangka. Karena memang prasangka yang dibangun di atas suatu
qarinah (tanda-tanda yang menunjukkan ke arah tersebut) tidaklah terlarang. Hal
itu merupakan tabiat manusia. Bila ia mendapatkan qarinah yang kuat maka
timbullah zhannya, apakah zhan yang baik ataupun yang tidak baik. Yang namanya
manusia memang mau tidak mau akan tunduk menuruti qarinah yang ada. Yang
seperti ini tidak apa-apa. Yang terlarang adalah berprasangka semata-mata tanpa
ada qarinah. Inilah zhan yang diperingatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan dinyatakan oleh beliau sebagai pembicaraan yang paling dusta.
(Syarhu Riyadhis Shalihin, 3/191)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, “Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman melarang hamba-hamba-Nya dari banyak persangkaan,
yaitu menuduh dan menganggap khianat kepada keluarga, kerabat dan orang lain
tidak pada tempatnya. Karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa yang
murni, maka jauhilah kebanyakan dari persangkaan tersebut dalam rangka
kehati-hatian. Kami meriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab
radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, ‘Janganlah sekali-kali engkau berprasangka
kecuali kebaikan terhadap satu kata yang keluar dari saudaramu yang mukmin,
jika memang engkau dapati kemungkinan kebaikan pada kata tersebut’.” (Tafsir
Ibnu Katsir, 7/291)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan sebuah
hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
إِيَّاكُمْ
وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ
الْحَدِيْثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ
تَجَسَّسُوْا، وَلاَ تَنَافَسُوْا، وَلاَ
تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ
تَدَابَرُوْا، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهَ إِخْوَانًا
كَمَا أَمَرَكُمْ، الْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ، لاَ
يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ
يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَهُنَا، التَّقْوَى ههُنَا -يُشِيْرُ إِلَى
صَدْرِهِ- بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ
أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ
الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ
دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ، إِنَّ اللهَ لاَ
يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ، وَلاَ
إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ
أَعْمَالِكُمْ
“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan) karena
zhan itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan
orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari
aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai
sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan saling membelakangi.
Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang Dia
perintahkan. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka
janganlah ia menzalimi saudaranya, jangan pula tidak memberikan
pertolongan/bantuan kepada saudaranya dan jangan merendahkannya. Takwa itu di
sini, takwa itu di sini.” Beliau mengisyaratkan (menunjuk) ke arah dadanya.
“Cukuplah seseorang dari kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesama
muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain, haram darahnya, kehormatan dan
hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke
rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.” (HR. ِAl-Bukhari no. 6066 dan Muslim
no. 6482)
Zhan yang disebutkan dalam hadits di atas dan juga di dalam
ayat, kata ulama kita, adalah tuhmah (tuduhan). Zhan yang diperingatkan dan
dilarang adalah tuhmah tanpa ada sebabnya. Seperti seseorang yang dituduh
berbuat fahisyah (zina) atau dituduh minum khamr padahal tidak tampak darinya
tanda-tanda yang mengharuskan dilemparkannya tuduhan tersebut kepada dirinya.
Dengan demikian, bila tidak ada tanda-tanda yang benar dan sebab yang zahir
(tampak), maka haram berzhan yang jelek. Terlebih lagi kepada orang yang keadaannya
tertutup dan yang tampak darinya hanyalah kebaikan/keshalihan. Beda halnya
dengan seseorang yang terkenal di kalangan manusia sebagai orang yang tidak
baik, suka terang-terangan berbuat maksiat, atau melakukan hal-hal yang
mendatangkan kecurigaan seperti keluar masuk ke tempat penjualan khamr,
berteman dengan para wanita penghibur yang fajir, suka melihat perkara yang
haram dan sebagainya. Orang yang keadaannya seperti ini tidaklah terlarang
untuk berburuk sangka kepadanya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 16/217, Ruhul
Ma’ani 13/219)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dari mayoritas
ulama dengan menukilkan dari Al-Mahdawi, bahwa zhan yang buruk terhadap orang
yang zahirnya baik tidak dibolehkan. Sebaliknya, tidak berdosa berzhan yang
jelek kepada orang yang zahirnya jelek. (Al Jami’ li Ahkamil Qur`an, 16/218)
Karenanya, Ibnu Hubairah Al-Wazir Al-Hanbali berkata, “Demi
Allah, tidak halal berbaik sangka kepada orang yang menolak kebenaran, tidak
pula kepada orang yang menyelisihi syariat.” (Al-Adabus Syar’iyyah, 1/70)
Dari hadits:
إِيَّاكُمْ
وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ
الْحَدِيْثِ
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata menjelaskan ucapan
Al-Khaththabi tentang zhan yang dilarang dalam hadits ini, “Zhan yang
diharamkan adalah zhan yang terus menetap pada diri seseorang, terus mendiami
hatinya, bukan zhan yang sekadar terbetik di hati lalu hilang tanpa bersemayam
di dalam hati. Karena zhan yang terakhir ini di luar kemampuan seseorang.
Sebagaimana yang telah lewat dalam hadits bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
memaafkan umat ini dari apa yang terlintas di hatinya selama ia tidak mengucapkannya
atau ia bersengaja1.” (Al-Minhaj, 16/335)
Sufyan rahimahullahu berkata, “Zhan yang mendatangkan dosa
adalah bila seseorang berzhan dan ia membicarakannya. Bila ia diam
/menyimpannya dan tidak membicarakan nya maka ia tidak berdosa.”
Dimungkinkan pula, kata Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu, bahwa
zhan yang dilarang adalah zhan yang murni /tidak beralasan, tidak dibangun di
atas asas dan tidak didukung dengan bukti. (Ikmalul Mu’lim bi Fawa`id Muslim,
8/28)
Kepada seorang muslim yang secara zahir baik agamanya serta
menjaga kehormatannya, tidaklah pantas kita berzhan buruk. Bila sampai pada
kita berita yang “miring” tentangnya maka tidak ada yang sepantasnya kita
lakukan kecuali tetap berbaik sangka kepadanya. Karena itu, tatkala terjadi
peristiwa Ifk di masa Nubuwwah, di mana orang-orang munafik menyebarkan fitnah
berupa berita dusta bahwa istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
mulia, shalihah, dan thahirah (suci dari perbuatan nista) Aisyah radhiyallahu
‘anha berzina, wal’iyadzubillah, dengan sahabat yang mulia Shafwan ibnu
Mu’aththal radhiyallahu ‘anhu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kepada
hamba-hamba-Nya yang beriman agar tetap berprasangka baik dan tidak ikut-ikutan
dengan munafikin menyebarkan kedustaan tersebut. Dalam Tanzil-Nya, Dia
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَوْلاَ
إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ
بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا
إِفْكٌ مُبِينٌ
“Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong tersebut,
orang-orang mukmin dan mukminah tidak bersangka baik terhadap diri mereka
sendiri dan mengapa mereka tidak berkata, ‘Ini adalah sebuah berita bohong yang
nyata’.” (An-Nur: 12)
Dalam Al-Qur`anul Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela
orang-orang Badui yang takut berperang ketika mereka diajak untuk keluar
bersama pasukan mujahidin yang dipimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Orang-orang Badui ini dihinggapi dengan zhan yang jelek.
سَيَقُولُ
لَكَ الْمُخَلَّفُونَ مِنَ اْلأَعْرَابِ شَغَلَتْنَا
أَمْوَالُنَا وَأَهْلُونَا فَاسْتَغْفِرْ لَنَا يَقُولُونَ بِأَلْسِنَتِهِمْ
مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ
قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ لَكُمْ
مِنَ اللهِ شَيْئًا إِنْ
أَرَادَ بِكُمْ ضَرًّا أَوْ
أَرَادَ بِكُمْ نَفْعًا بَلْ
كَانَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرًا. بَلْ ظَنَنْتُمْ أَنْ
لَنْ يَنْقَلِبَ الرَّسُولُ وَالْمُؤْمِنُونَ إِلَى أَهْلِيهِمْ أَبَدًا
وَزُيِّنَ ذَلِكَ فِي قُلُوبِكُمْ
وَظَنَنْتُمْ ظَنَّ السَّوْءِ وَكُنْتُمْ
قَوْمًا بُورًا
“Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke
Hudaibiyah) akan mengatakan, ‘Harta dan keluarga kami telah menyibukkan kami,
maka mohonkanlah ampunan untuk kami.’ Mereka mengucapkan dengan lidah mereka
apa yang tidak ada di dalam hati mereka. Katakanlah, “Maka siapakah gerangan
yang dapat menghalangi-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudaratan
bagi kalian atau jika Dia menghendaki manfaat bagi kalian. Bahkan Allah Maha
Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Tetapi kalian menyangka bahwa Rasul dan
orang-orang yang beriman sekali-kali tidak akan kembali kepada keluarga mereka
selama-lamanya dan setan telah menjadikan kalian memandang baik dalam hati
kalian persangkaan tersebut. Dan kalian telah menyangka dengan sangkaan yang
buruk, kalian pun menjadi kaum yang binasa.” (Al-Fath: 11-12)
Wallahu a’lam bish-shawab.
1) Lafadz hadits yang dimaksud adalah:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِإُمَّتِي
مَا حَدَثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا
لَـمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terlintas
di jiwa mereka selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya.” (HR.
Bukhari no. 2528 dan Muslim no. 327)
Sumber : http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/05/30/jangan-berprasangka-buruk-terhadap-orang-lain-dan-jangan-pula-mendengarkan-ucapan-orang-lain-dalam-keadaan-mereka-tidak-suka/
No comments:
Post a Comment